Pendahuluan
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat pesat sebelum krisis moneter menyebabkan terlenanya para pelaku ekonomi dan institusi pemegang kebijakan. Kesusksesan ini menimbulkan suatu optimisme yang berlebihan dan di pihak lain terjadi keteledoran yang ditunjukkan oleh kegiatan-kegiatan ekonomi dari pelaku tanpa pengawasan dan lepas kendali. Ketika terjadi devaluasi terhadap ”bath” mata uang Thailand pada Juli 1997, maka mata uang Indonesia terkena imbasnya sehingga terjadilah krisis moneter di Indonesia yang meruntuhkan bangunan modern dalam tubuh ekonomi bangsa.
Untuk mengatasinya, pemerintah mengambil tindakan-tindakan penyehatan, seperti injeksi modal, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi perbankan dan korporasi-korporasi. Tindakan penyehatan ini ternyata tidak mampu mengatasi krisis moneter. Sektor finansial dan korporasi resistensi dan kreativitas ekonomi yang militan dalam suatu komunitas ekonomi rakyat.
Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting/prioritas dan dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi, ternyata dapat berperan sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Berdasarkan hasil kajian sejumlah pakar ekonomi dapat dirumuskan strategi pemberdayaan ekonomi rakyat dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia melalui
(1) mengembangkan ekonomi rakyat berlandaskan sistem ekonomi Pancasila;
(2) melakukan pendekatan institusional dalam hal ini pemerintah dan parlemen menciptakan iklim usaha yang kondusif, kepastian hukum, akses permodalan, teknologi, dan akses pasar;
(3) membangun sinergi yang saling menguntungkan antara ekonomi rakyat dengan swasta nasional (korporasi-korporasi besar dan maju) dalam hal permodalan, teknologi, pemasaran, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Kata kunci : ekonomi rakyat
Referensi
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sangat pesat sebelum krisis moneter patut dibanggakan. Pendapatan per kapita meningkat menjadi 2x lipat antara 1990 dan 1997. Perkembangan ini didukung oleh suatu kebijakan moneter yang stabil: tingkat inflasi dan bunga yang rendah, tingkat perkembangan nilai tukar mata uang yang terkendali rendah, APBN yang berimbang, kebijakan ekspor yang terdiversifikasi (tidak saja tergantung pada migas), kebijakan neraca modal yang liberal, baik bagi modal yang masuk maupun yang keluar. Kesuksesan ini menimbulkan suatu optimisme yang luar biasa di satu pihak dan di pihak lain keteledoran yang tidak tanggung-tanggung. Suatu optimisme yang mendorong kebijakan-kebijakan ekonomi dan tingkah laku para pelaku ekonomi dalam dan luar negeri sepertinya lepas kendali.
Kesuksesan pembangunan ekonomi Indonesia demikian memukau para kreditor luar negeri yang menyediakan kredit tanpa batas dan tanpa meneliti proyek-proyek yang diberi kredit itu. Keteledoran ini juga terjadi di dalam negeri, yaitu kegiatan-kegiatan ekonomi dan para pelakunya berlangsung tanpa pengawasan dan tidak dilihat “cost benefit” secara cermat. Kredit jangka pendek diinvestasikan ke dalam proyek-proyek jangka panjang. Didorong oleh optimisme dan keteledoran ini ekonomi didorong bertumbuh di atas kemampuannya sendiri (“bubble economics”). Pertumbuhan ini ambruk ketika kebijakan pemerintah Thailand pada Juli 1997 untuk mengambangkan mata uang Thailand “bath” terhadap dolar US. Selama itu mata uang bath dan dolar US dikaitkan satu sama lain dengan suatu kurs yang tetap.
Devaluasi mendadak dari “bath” ini menimbulkan tekanan terhadap mata uang-mata uang negara ASEAN dan menjalarlah tekanan devaluasi di wilayah ini (Frans Seda, 2002). Indonesia, yang mengikuti sistem mengambang terkendali pada awalnya bertahan dengan memperluas “band” pengendalian/intervensi, namun pada medio Agustus 1997 terpaksa melepaskan pengendalian/intervensi melalui sistem “band” tersebut. Rupiah langsung terdevaluasi. Pada September/Oktober 1997 rupiah telah terdevaluasi 30% sejak Juli 1997. Pada Juli 1998 dalam setahun rupiah sudah terdevaluasi sebesar 90%, yang diikuti oleh kemerosotan IHSG di pasar modal Jakarta dengan besaran sekitar 90% pula dalam periode yang sama. Dalam perkembangan selanjutnya dan selama ini, ternyata Indonesia paling dalam dan paling lama mengalami depresi ekonomi. Pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi Indonesia merosot menjadi –13,7% dari pertumbuhan sebesar +4,9% pada tahun sebelumnya (1997) atau jatuh sebesar 18,6% dalam setahun (Frans Seda, 2002).
Sementara itu terjadi pula suatu perombakan yang drastis dalam strategi pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi yang selama ini adalah “State” dan “Government-led” beralih menjadi “led by private initiatives and market”. Utang pemerintah/resmi/negara turun dari USD 80 miliar menjadi USD 50 miliar pada akhir tahun 1996, sementara utang swasta membubung dengan cepatnya. Jika pada tahun 1996 utang swasta masih berada pada tingkat USD 15 miliar, maka pada akhir tahun 1996 sudah meningkat menjadi antara USD 65 miliar – USD 75 miliar (Frans Seda, 2002).
Frans Seda (2002) menyatakan bahwa proses swastanisasi/privatisasi dari pelaku utama pembangunan berlangsung melalui proses liberalisasi dengan mekanisme deregulasi diliputi visi dan semangat liberal. Dalam waktu sangat singkat bertebaran bank-bank swasta di seluruh tanah air dan bertaburan korporasi-korporasi swasta yang memperoleh fasilitas- fasilitas tak terbatas. Proses swastanisasi ini berlangsung tanpa kendali dan penuh KKN.
Ketika diserang krisis mata uang sikonnya belum siap dan masih penuh kerapuhan, terlebih dunia perbankan dan korporasi. Akhirnya, runtuhlah bangunan modern dalam tubuh ekonomi bangsa. Di samping itu, kerapuhan ternyata sangat mendalam dan meluas sehingga tindakan-tindakan penyehatan, seperti injeksi modal oleh pemerintah, upaya-upaya rekapitalisasi, restrukturisasi perbankan dan korporasi-korporasi tampaknya tidak mempan selama dan sesudah lima tahun ini. Sektor finansial dan korporasi masih tetap terpuruk.
Rapuhnya sektor-sektor modern ini adalah dalam hal organisasi, manajemen, dan mental orang-orang/para pelakunya, dalam hal bisnis serta akhlak dan moral. Suatu kerapuhan total dan secara institusional pula. Namun, akibat-akibat negatif ini dihadapi rakyat banyak dengan suatu resistensi dan kreativitas ekonomi yang militan (Frans Seda, 2002). Sektor tradisional yang selama ini dianggap sebagai sektor yang tidak penting/prioritas, malahan dianggap sebagai penghambat pertumbuhan ekonomi, tidak hanya menampung reruntuhan dari ambruknya sektor modern, tetapi juga memainkan peran sebagai pengganti dari peranan sektor modern yang ambruk itu. Hal yang mengesankan adalah peran dari asas kekeluargaan. Mereka yang di-PHK-kan ditampung dalam sektor tradisional dan sektor informal yang merupakan bagian dari resistensi ekonomi rakyat dalam krisis tersebut.
Dalam pemberdayaan ekonomi rakyat diperlukan strategi yang dibangun dari komitmen bersama dari seluruh komponen bangsa yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Komponen- komponen bangsa tersebut adalah pemerintah dan parlemen yang berperan penting dalam merumuskan kebijakan dan regulasi ekonomi, akademisi sebagai perumus konsep dan teori ekonomi nasional, pengusaha besar atau kecil atau usaha kecil dan menengah sebagai pelaku ekonomi di lapangan, dan institusi perbankan sebagai pengelola dan penyalur modal. Semua komponen tersebut harus berkarya dan berbuat sesuai dengan kapasitasnya dalam suatu komunitas pemulihan ekonomi nasional untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur sesuai dengan amanat dalam landasan konstitusional UUD’45 dan landasan idiil Pancasila.
Kondisi Nyata Saat Ini
Pemberdayaan ekonomi rakyat merupakan sesuatu yang harus dilakukan untuk memulihkan ekonomi nasional. Jatuhnya ekonomi nasional yang begitu dalam dan cepat pulih dalam dua tahun berikutnya dikatakan oleh sebagian besar pakar ekonomi disebabkan oleh sumbangan yang besar dari ekonomi rakyat. Namun, Frans Seda (2002) mengatakan bahwa pulihnya ekonomi dalam waktu singkat tersebut disebabkan oleh faktor kepercayaan pada program pemerintah dalam kerja sama dengan IMF dan hilangnya panik ekonomi yang turut berperan di samping peranan yang memang besar dari ekonomi rakyat.
Ekonomi rakyat masih perlu diberdayakan dan pemberdayaan itu dilakukan melalui “link and match” dengan sektor swasta. Melalui pemberdayaan sektor swasta maka diharapkan/dianggap ekonomi rakyat akan dapat diberdayakan pula. Jika pembangunan selama ini adalah “top down”, maka proses ini tidak langsung beralih ke sistem “bottom up”, namun melalui sistem (peng)antara “middle down” dan “middle up”. Kita tahu apa yang telah terjadi.
Bukan proses “memberdayakan”, melainkan proses “memperdayakan”. “Up” dan “down” diperdayakan oleh si “middle”. Dengan demikian, terjadilah krisis ekonomi yang berkelanjutan ini (Frans Seda, 2002). Dainy Tara (2001) membuat perbedaan yang tegas antara ‘ekonomi rakyat’ dengan ‘ekonomi kerakyatan’.
Menurutnya, ekonomi rakyat adalah satuan (usaha) yang mendominasi ragaan perekonomian rakyat. Sebaiknya, ekonomi kerakyatan lebih merupakan kata sifat, yakni upaya memberdayakan (kelompok atau satuan) ekonomi yang mendominasi struktur dunia usaha. Dalam ruang Indonesia kata rakyat dalam konteks ilmu ekonomi selayaknya diterjemahkan sebagai kesatuan besar individu aktor ekonomi dengan jenis kegiatan usaha berskala kecil dalam permodalannya, sarana teknologi produksi yang sederhana, menejemen usaha yang belum bersistem, dan bentuk kepemilikan usaha secara pribadi. Kelompok usaha dengan karakteristik seperti inilah yang mendominasi struktur dunia usaha di Indonesia (Fredrik Benu, 2002).
Menurut Frans Seda (2002) kemampuan resistensi ekonomi rakyat adalah pada tingkat “subsistence economy”. Ekonomi rakyat juga merupakan ekonomi “from hand to mouth”. Apa yang dihasilkan, dihabiskan! Tidak ada kelebihan untuk melanjutkan dan mendinamisasikan kegiatan. Jika hal itu diperlukan, maka dilaksanakan melalui utang. Itulah sebabnya peran “lintah darat” besar dalam ekonomi rakyat. Di samping itu, juga dikatakan bahwa hal ini dikemukakan tidak dengan maksud untuk memojokkan ekonomi rakyat, namun untuk mengungkapkan kenyataan yang dihadapi yang perlu diperbaiki agar tugas nasional yang diserahkan kepada ekonomi rakyat dapat terlaksana dengan baik dan penuh prospek dan perspektif. Tugas nasional tersebut adalah mengatasi pengangguran, kemiskinan, utang.
Ketiga target ini memang mengena pada kepentingan ekonomi rakyat dan merupakan tantangan bagi ekonomi rakyat. Dengan demikian, dalam menghadapi tugas besar/tugas nasional ini para pelaku ekonomi rakyat perlu di”upgrade” atau diberdayakan.
Dalam Sistem Ekonomi Pancasila, Mubyarto (2003) menjelaskan bahwa para pemimpin ekonomi Indonesia, baik dari kalangan pemerintah, dunia bisnis, maupun kalangan pakar agar berpikir keras menyusun aturan main atau sistem ekonomi baru yang mengacu pada sistem sosial dan budaya Indonesia sendiri. Jika Pancasila kita terima sebagai ideologi bangsa, maka kita tidak perlu merasa ragu-ragu mengacu pada Pancasila lengkap dengan lima silanya dalam menyusun sistem ekonomi yang dimaksud. Sistem Ekonomi Pancasila mencakup kesepakatan ”aturan main etik” sebagai berikut.
1. Ketuhanan Yang Maha Esa: perilaku setiap warga negara digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral.
2. Kemanusiaan yang adil dan beradab: ada tekad seluruh bangsa untuk mewujudkan kemerataan nasional.
3. persatuan Indonesia: nasionalisme ekonomi.
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan: demokrasi ekonomi.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia: desentralisasi dan otonomi daerah.
Uapaya Penyelesaian
Dalam memberdayakan ekonomi rakyat diperlukan pendekatan secara institusional antara pemerintah dan parlemen yang mengarahkan kepentingan rakyat dan kesejahteraan nasional (Frans Seda, 2002). Rakyat sebagai subjek ekonomi seperti halnya dengan korporasi- korporasi besar/maju memerlukan perlindungan/kepastian hukum dan iklim usaha, memerlukan akses ke modal, teknologi, dan pasar. Hal-hal ini perlu diciptakan oleh institusi itu.
Pemberdayaan ekonomi rakyat dewasa ini diperlukan pula untuk membina kader-kader pelaku ekonomi generasi baru menggantikan generasi pelaku ekonomi yang sudah tumbang. Mereka sendiri tadinya juga berasal dari usaha ekonomi rakyat, usaha/pedagang kecil dan menengah. Namun, suatu generasi pelaku ekonomi nasional yang bersih tidak dimanjakan dengan subsidi, proteksi, dan fasilitas, apalagi dengan KKN, tetapi harus tangguh mental dan profesional dalam berusaha (Frans Seda, 2002).
Berdasarkan kajian dan pendapat para pakar ekonomi dapat dirumuskan strategi pemberdayaan ekonomi rakyat, yaitu sebagai berikut.
1. Mengembangkan ekonomi rakyat berlandaskan Sistem Ekonomi Pancasila yang meliputi moral (Ketuhanan Yang Maha Esa), kemerataan nasional (Kemanusiaan yang adil dan beradab), nasionalisme ekonomi (Persatuan Indonesia), demokrasi ekonomi (Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, desentralisasi dan otonomi daerah (Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia).
2. Melakukan pendekatan institusional dalam hal ini pemerintah dan parlemen menciptakan iklim usaha yang kondusif, kepastian hukum, akses permodalan, teknologi, dan akses pasar.
3. Membangun sinergi yang saling menguntungkan antara ekonomi rakyat dengan swasta nasional (korporasi-korporasi besar dan maju) dalam hal permodalan, teknologi, pemasaran, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Dalam implementasi strategi pemberdayaan ekonomi rakyat tersebut diperlukan adanya konsensus politik secara nasional untuk menyusun suatu program nasional guna mempercepat keluar dari krisis dan mulai memulihkan kembali pertumbuhan ekonomi nasional yang mampu memberantas pengangguran, kemiskinan, kebodohan, dan utang nasional. Hal itu penting sebab di situlahletak kepentingan mendesak dari ekonomi rakyat (Frans Seda, 2002).
Ekonomi rakyat memiliki peran yang strategis dalam pemulihan ekonomi nasional. Hal ini dapat dibuktikan dari sejumlah hasil penelitian. Berdasarkan hasil Survei Aspek Kehidupan Rumah Tangga Indonesia (SAKERTI) yang dilakukan di 13 provinsi (Tabel 1) oleh Pusat Penelitian Kependudukan UGM bekerja sama dengan RAND Corporation Santa Monica selama Juni-Oktober 2000 diketahui bahwa angka kemiskinan menurun, baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pendapatan riil rumah tangga mengalami kenaikan secara signifikan selama 1997--2000. Demikian pula terjadi peningkatan kesempatan kerja.
Untuk pria dari 79% (1997) menjadi 84% (2000) dan untuk wanita dari 45% menjadi 57%. Khusus untuk kerja upahan/bergaji kenaikannya untuk pria dari 74,5% menjadi 77,0%, sedangkan untuk wanita dari 36,7% menjadi 42,2%. Hal yang cukup signifikan adalah kenaikan persentase kesempatan kerja keluarga tanpa gaji, terutama wanita yang naik dari 19,2% menjadi 25,5% meskipun untuk pria naik lebih kecil, yaitu dari 6,1% menjadi 7,9%.
Arti kenaikan angka-angka ini jelas bahwa krismon yang pada umumnya menurunkan kegiatan sektor modern/formal ditanggapi dengan meningkatnya kegiatan ekonomi/ industri sektor tradisional/informal/ekonomi rakyat, khususnya dengan mempekerjakan lebih banyak wanita atau ibu yang sebelumnya tidak bekerja. Hal ini menunjukkan bahwaselama 1997—2000 telah terjadi “pergeseran” kesempatan kerja dari sektor ekonomi modern ke sektor ekonomi rakyat dan tidak benar adanya pengangguran besar-besaran akibat PHK (Mubyarto, 2002).
Hasil survei ini juga menunjukkan bahwa tidak terjadi kemerosotan kesejahteraan dan standar hidup akibat krismon seperti anggapan umum. Ternyata 87% responden menyatakan standar hidup mereka tidak berubah (tetap) atau bahkan membaik, sedangkan yang melaporkan memburuk hanya 13%. Terkait dengan kualitas hidup, 83,9% responden menyatakan memadai (69,4%) atau lebih dari memadai (14,5%), yang berarti bahwa keluarga yang merasakan kualitas hidup mereka tidak memadai hanya 16,1%. Terkait dengan kualitas hidup yang menyangkut pemenuhan kebutuhan pangan, 90,7% responden menyatakan memadai atau lebih dari memadai, sedangkan tentang pemeliharaan kesehatan, 85% responden menyatakan memadai dan 4% menyatakan lebih dari memadai (Mubyarto, 2002).
Berdasarkan hasil kajian SAKERTI, Mubyarto (2002) menyimpulkan bahwa dampak negatif krismon terhadap ekonomi rakyat dapat dihindari atau disikapi sedemikian rupa hingga tidak dirasakan dampaknya dengan cara-cara atau ”seni” khas ekonomi rakyat, yang dikenal dengan istilah strategi penyikapan (coping strategy), baik dalam produksi, perilaku berkonsumsi, maupun sekedar strategi bertahan hidup (survival strategy).
Hasil survei Sakerti 1, 2, 2+, dan 3 secara meyakinkan mengungkapkan bagaimana 10.000 lebih keluarga dan 43.000 orang yang diwawancarai menanggapi krismon dengan cara-cara mereka, yang tidak dikenal dan tidak termuat dalam buku-buku teks ilmu ekonomi terbitan Amerika. Sakerti mampu mengungkap perilaku ekonomi riil rakyat Indonesia (real life economics) yang melalui analisis mendalam akan menghasilkan ilmu/ teori ekonomi riil (Paul Ekins dan Manfred Max-Neef, 1992).
Kiranya jelas bahwa tulisan ini berusaha meyakinkan tidak akan terjadi kebangkrutan atau kelumpuhan ekonomi nasional jika Indonesia memutuskan secara sepihak untuk tidak lagi mencari utang-utang baru dari luar atau bahkan dalam negeri. Tanpa ikatan kerja sama dengan IMF, pemerintah dan bangsa Indonesia dapat memusatkan perhatian pada usaha dan program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Sektor ekonomi rakyat banyak yang sejak krismon lima tahun lalu tidak saja tidak hancur, tetapi malah telah menunjukkan ciri khasnya yaitu tahan banting dan mampu menunjukkan keandalan dan kemandiriannya. Bukti-bukti dari Sakerti 3 telah sangat memperkuat berbagai data penelitian lapangan optimistik sebelumnya. Bangsa Indonesia harus percaya diri. Jika pada saat proklamasi kemerdekaan tahun 1945 bangsa Indonesia memiliki rasa percaya diri amat besar untuk merdeka secara politik, kinilah saatnya bangsa Indonesia memiliki rasa percaya diri di bidang ekonomi.
Manifesto Politik Perhimpunan Indonesia tahun 1925 di negeri Belanda (dipimpin oleh Moh. Hatta) dapat jadikan acuan rasa percaya diri itu (Mubyarto, 2002).
Penutup
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak tahun 1998 merupakan hikmah yang harus disyukuri karena krisis ekonomi menyebabkan ambruknya perekonomian Indonesia. Korporasi-korporasi besar atau perusahaan-perusahaan besar ambruk total, tetapi usaha kecil yang merupakan ciri ekonomi rakyat tetap eksis dan tahan banting. Kondisi ini membuat semua komponen bangsa sadar bahwa ekonomi rakyat yang kurang mendapat perhatian dari institusi pemegang kebijakan ternyata dapat mengawal perekonomian Indonesia hingga terhindar dari kehancuran total. Berangkat dari pengalaman ini maka semua komponen bangsa harus membangun komitmen bersama untuk memulihkan ekonomi nasional melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Berdasarkan hasil kajian dan curah pemikiran dari sejumlah pakar ekonomi maka dapat dirumuskan strategi pemberdayaan ekonomi rakyat dalam rangka pemulihan ekonomi Indonesia melalui
(1) mengembangkan ekonomi rakyat berlandaskan Sistem Ekonomi Pancasila;
(2) melakukan pendekatan institusional dalam hal ini pemerintah dan parlemen menciptakan iklim usaha yang kondusif, kepastian hukum, akses permodalan, teknologi, dan akses pasar;
(3) membangun sinergi yang saling menguntungkan antara ekonomi rakyat dengan swasta nasional (korporasi-korporasi besar dan maju) dalam hal permodalan, teknologi, pemasaran, dan pengembangan sumber daya manusia (SDM).
Dengan cara-cara tersebut diharapkan dapat memulihkan perekonomian Indonesia agar lebih baik kedepannya nanti.
Daftar Pustaka
Bayu, Krisnamurthi. 2002. “Krisis Moneter dan Ekonomi Rakyat”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th.I,No.3.
De Soto, Hernando. 2000. The Mystery of Capital. London : Black Swan.
Fredrik, Benu. 2002. “Ekonomi Rakyat dan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat : Suatu Kajian Konseptual”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th. I,No. 10.
Mubyarto. 1999. Reformasi Sistem Ekonomi. Yogyakarta : Aditya Media.
Mubyarto. 2002. “Ekonomi Rakyat Pasca Krismon”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th.I,No.9.
Mubyarto. 2002. “Ekonomi Rakyat, Perbankan Etik, dan Krisis Moneter 1997/1998”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th.I,No.1.
Mubyarto. 2003. “Mengembangkan Ekonomi Rakyat sebagai Landasan Ekonomi Pancasila”. Jurnal Ekonomi Rakyat. Th.II,No.8.
Paul, Ekins and Manfred Max-Neef. 1992. Real-life Economics. London-New York : Routledge.
Tara, Azwir Dainy. 2001. Strategi Membangun Ekonomi Rakyat. Jakarta : Nuansa Madani.
1 Comments
tugas kewarganegaraan
ReplyDelete